Ringkasan Khutbah GerhanaBentangkan semua Ciutkan semua JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENJADI LAWAN BAGI ANQalbu diciptakan Tuhan bukan untuk di jadikan musuh yang selalu merintangi dan menentang segala gerak dan tidak kita, kita di perlengkapi dengan hati agar dapat memanfaatkan akal berlandaskan hati, jadikan hati nurani itu penasehat untuk memudahkan segala tindak dan gerak, dan memberi arah bagi segala amal dan usaha.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ( الحج:46)
Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, agar mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat menggunkan akal, dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada yang buta.
Menggunakan otak, menggerakkan akal tidak berarti mesti membutakan hati nurani, hendaklah akal itu bergerak berlandaskan hati nurani, supaya tidak berlaku kejam dan menghianati perikemanusiaan.
Wabishah pernanah meminta nasehat kepada Rasulullah tentang kebaikan dan keburukan:
أتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ لَا أَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ إِلَّا سَأَلْتُهُ عَنْهُ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَسْتَفْتُونَهُ فَجَعَلْتُ أَتَخَطَّاهُمْ قَالُوا إِلَيْكَ يَا وَابِصَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ دَعُونِي فَأَدْنُوَ مِنْهُ فَإِنَّهُ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ أَنْ أَدْنُوَ مِنْهُ قَالَ دَعُوا وَابِصَةَ ادْنُ يَا وَابِصَةُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ فَدَنَوْتُ مِنْهُ حَتَّى قَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ يَا وَابِصَةُ أُخْبِرُكَ أَوْ تَسْأَلُنِي قُلْتُ لَا بَلْ أَخْبِرْنِي فَقَالَ جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ نَعَمْ فَجَمَعَ أَنَامِلَهُ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِنَّ فِي صَدْرِي وَيَقُولُ يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
Saya datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan saya ingin agar tidak ada sesuatu baik berupa kebaikan atau keburukan kecuali aku telah menanyakannya pada beliau. Dan pada saat itu di sekeliling beliau banyak terdapat kaum muslimin yang sedang meminta nasehat kepadanya beliau. Maka aku pun nekat melangkahi mereka hingga orang-orang itu berkata, "Wahai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menjauhlah wahai Wabishah!" Saya berkata, "Biarkan saya mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling saya cintai dan sukai untuk saya dekati." Maka beliau pun berkata, "Biarkan Wabisah mendekat. Mendekatlah wahai Wabishah." Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Wabishah berkata, "Saya pun mendekat kepada beliau hingga saya duduk di hadapannya. Kemudian beliau bertanya: "Wahai Wabisah, aku beritahukan kepadamu atau kamu yang akan bertanya padaku?" saya menjawab, "Tidak, akan tetapi beritahukanlah padaku." Beliau lantas bersabda: "Kamu datang untuk bertanya mengenai kebaikan dan keburukan (dosa)?" Saya menjawab."Benar." Beliau kemudian menyatukan ketiga jarinya seraya menepukkannya ke dadaku. Setelah itu beliau bersabda: "Wahai Wabishah, mintalah petunjuk pada hati dan jiwamu -beliau mengulanginya tiga kali-. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia memberimu fatwa dan membenarkanmu." (AHMAD - 17320)
Hati nurani yang sehat mampu memberi fatwa yang baik, memberi keputusan dan menentukan satu pilihan yang baik.
Adalah satu siksaan yang sangat berat, penderitaan yang sangat meletihkan dan memutusasakan bila kita melakukan sesuatu yang tidak di setujui hati, bertentangan dengan kemauan, tidak searah dengan kemauan; orang yang bekerja dengan rasa terpaksa, bila menemukan kesulitan dalam pekerjaan, maka otak pikiran bukan membantu untuk memecahkan dan memudahkannya, atau menggagalkannya, akhirnya timbullah keinginan untuk menjadi manusia bebas lepas dari aturan dan ketentuan, bebas daripada yang dinamakan kesopanan, tata tertib atau kepercayaan.
Tidak ada yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yang tidak di siksa batinnya, atau yang tidak di gelisahkan hidupnya, di ragukan tindakannya, di kacaukan fikirannya, dan tidak menentu arah tujuan hidupnya. Itu tandanya hati nuraninya sudah mati, atau sudah buta mata hatinya yang dalam dadanya (ta’ma’lqulubullati fish-Shudur).
Firman Allah
لينذر من كان حيا (يس:70)
Supaya Dia (Muhammad) memberi peringatan kepada manusia yang masih hidup.
Dan maksud hidup disini bukan hidup sebalik dari mati, tapi hidup disini dengan arti memilii hati nurani. Memanusiaakan binatang tidak akan dan belum pernah terjadi, belum pernah ada kerbau yang berubah jadi berakal berpikir dan berbudi, tapi tidak sedikit manusia yang sudah di binatangkan atau membinatangkan.
Sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(الاعراف:179 )
Dan sungguh kami akan isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka memiliki hati tapi tidak di pergunakan (untuk memahami ayat-ayat Allah), mereka memiliki mata tapi tidak di pergunakan melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka memiliki telinga tapi tidak di pergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih dari binatang, mereka itulah orang yang rugi.
Karena mereka lalai, mereka tidak menggunakan akalnya dengan landasan hati nurani, tidak memiliki qulubun ya’qiluna biha, tidak memiliki hati yang dengannya dapat menggunakan akal.
إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا (الفرقان:44 )
Mereka tiada lain hanya seperti binatang bahkan lebih sesat jalannya.
Bagi yang masih memiliki hati nurani yang sehat, bila melakukan suatu pelanggaran, penyelewengan, penghianatan terhadap iman atau ilmu, hati nuraninya berontak, menagih imannya dan memaksa agar kewajiban dan tugas itu di sempurnakan.
Bila dibiarkan hati berontak, bertindak seperti lawan, pasti akan kehilangan ketentraman, selalu gelisah dan penghargaan terhadap dirinya semakin rendah, yang akibatnya akan merasa malu melakukan perbuatan-perbuatan yang hina dan rendah sesuai dengan kerendahan diri atau hidup seperti binatang.
Menunaikan kewajiban, melakukan aml baik, dan akhlak utama tidak boleh di tangguhkan menunggu datangnya keinginan dan kerelaan hawa nafsu sebab tindakan seperti itu, sama halnya dengan yang menunggu-nunggu tibanya waktu yang kosong dan luas, tapi relakan hati agar rela dia islam, dia tunduk kepada aturan ketentuan dan undang-undang dan syari’at agama.
Hal ini mesti di usahakan, di biasakan, bukan di tunggu-tunggu, usahakan agar hati nurani tetap sehat,merestui segala amal yang manfaat dan baik, dan menolak membenci segala perbuatan yang buruk, supaya tiap gerak dan tindak, melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu selalu searah dengan fitrah jiwa, dan sesuai dengan keinginan hati nurani, dan disitu akan terasa keni’matan beragama, kebahagiaan Negara yang berundang-undang, karena semua penghuninya merelakan hati untuk hidup teratur, tidak lepas dari aturan dan undang-undang, dan itulah jiwa yang tentram (nafsul-muthmainnah).
Ada orang yang susah tidur, walaupun dia ngantuk, dan sudah berbaring di tempat tidur, sebab dia sedang berperang dengan hati nurani, sebab dia tidur meninggalkan pintu tidak terkunci, matanya menyuruh tidur, hati nuraninya memesan agar pintu di kunci.
Orang Islam yang belum melakukan shalat isya,tapi sudah ngantuk, bila ia berbaring di kamarnya, dia tidak bisa tidur dengan mudah, sebab hatinya berontak, hatinya menjadi lawan bagi dirinya.
Ini adalah contoh enteng, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh tepat orang menasehatkan, agar kita membiasakan mendidik atau melatih keinginan yang dinamakan tarbiyatul-iradah agar hati kita selalu searah dan sejalan.
Tidak ada pekerjaan, tidak ada pekerjaan yang membosankan bila pekerjaan itu di sertai dengan hati,dan sebaliknya pekerjaan yang mudah dan ringan bila tidak di sertai dengan hati akan terasa berat dan membosankan serta meletihakan.
Orang yang berjiwa “am-maratun bissu”, yang buta hati nuraninya, dapat melakukan kejahatan dan pelanggaran dengan senang hati, dia bermusuh dengan aturan dan syari’at agama, dia berpenyakit alergi nasehat dan tabligh.
Orang yang berjiwa “musawwalah”, hati nuraninya baru dapat bersinar bila di bantu dengan lingkungan, gerak tindaknya, sikap dan pendiriannya berubah-ubah, tergantung kepada pengaruh lingkungan, dia seperti benda mati bukan bergerak tapi di gerakkan.
Orang yang berjiwa “lawwamah”, selalu berperang dengan nafsunya, selalu merelakan hatinya untuk menerima kebenaran, dan melakukan kebaikan, dan dia selalu ada dalam kemenangan walupun dengan susah payah.
Orang yang berjiwa “muthmainnah” hidup berbahagia, hati nuraninya selalu membantu, otaknya bergerak berlandaskan hati nurani, tidak bermusuh dengan kalbu tidak menjadi lawan bagi hati nuraninya.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي (الفجر:27-30)
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada (ketentuan) Tuhan kamu dengan segala kepuasan, dan kembalilah dengan di ridhai Tuhan, masuklah seiring dengan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.
Oleh: KH. E Abdurrahman
Dipublikasikan Oleh: Basyi
r
Ringkasan Khutbah Gerhana
Selasa, 28 Agustus 2007 (Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung)
Oleh: KH. Emon Sastranegara
Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur kepada pencipta kita, khaliq, dan ma'bud kita bahwa sampai saat ini kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt., untuk memenuhi seruan Rasulullah Saw., di saat terjadi gerhana untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah, sebagai implementasi dari sunnah Rasulullah Saw.
Kalaulah saat ini Allah Swt., menghancurkan bumi ini melalui gerhana,
kita sedang beribadah kepada-Nya. Karena kiamat itu datangnya tiba-tiba tidak ada tanda-tanda sebelumnya.
Kita pernah diingatkan di suatu negara yang bernama Italia, gunung yang meletus dengan tidak memberikan tanda-tanda sebelumnya. Debu-debu dan lahar panas menimpa pada penduduk yang ada di bawahnya. Sehingga sampai sekarang bekas letusan itu terekam dari gambaran manusia yang menjadi posil dalam keadaan bermacam-macam; ada seorang ibu sedang memeluk anaknya, seorang suami tengah bercengkrama dengan istrinya, dua orang remaja yang tengah berjina, bermaksiat kepada Allah Swt. Dan andai kata Allah Swt., mentakdirkan saat gerhana ini kiamat tiba, akhir hidup kita dalam keadaan husnul khatimah, kita dalam keadaan sedang berserah diri kepada Allah Swt. Hal inilah yang patut kita syukuri pada saat ini kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.
Gerhana itu ada dua macam; gerhana bulan dan gerhana matahari. Gerhana yang terjadi pada saat ini (Selasa, 28 Agustus 2007) adalah gerhana bulan. Ada dua istilah dalam hadits yaitu kusuf dan khusuf, istilah yang sewaktu-waktu berbeda namun sewaktu-waktu sama. Berbeda sebab peristiwanya pun berbeda. Kusuf adalah gerhana matahari sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Kusuf menurut bahasa berarti At-Tagyir (suatu perubahan dari putih yang mengeluarkan cahaya menjadi hitam). Sementara khusuf berarti An-Nuqson (berkurang cahaya). Dan keduanya disyariatkan untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah.
Tentang hal ini bisa kita perhatikan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari seorang saha-bat Rasulullah yang bernama Al-Mughi-rah bin Syu'bah. “Pernah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Saw yang kebetulan berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah yang bernama Ibrahim. (Tahun ke-10 H). Orang-orang berkata, ter-jadinya gerhana matahari itu karena kema-tian Ibrahim. Rasulullah Saw bersabda, se-sungguhnya matahari dan bulan dua tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak terjadi gerhana itu karena kematian atau pun ka-rena lahirnya seseorang. Apabila kalian me-lihat dua peristiwa itu maka berdo'alah kepa-da Allah Swt., dan hendaklah melaksanakan shalat sehingga gerhana itu selesai.”
Dalam hadits lain yang bersumber dari Aisyah r.a., Ketika terjadi gerhana pada zaman Rasulullah Saw., Beliau shalat mengimami orang-orang lalu berkhutbah memuji dan menyanjung Allah dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bu-lan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, gerhana itu tidak terjadi lantaran kematian atau pun kelahiran seseorang, jika kalian menyaksikan gerhana maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bershadaqahlah. Lalu beliau bersabda, demi Allah seandainya kalian mengetahui yang aku ketahui niscaya kalian akan menyedikitkan tertawa dan memperbanyak tangis.”
Bershadaqah dalam artian sebagaimana kemampuan kita. Rasulullah bersabda, “Senyummu kepada saudaramu merupakan shadaqah.” Memasang wajah yang ramah dengan senyuman saat bertemu dengan saudara kita sesama muslim merupakan suatu nilai shadaqah. Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Kullu ma'ruufin shadaqah.” Setiap kebaikan itu adalah shadaqah. Tidak bisa dengan harta, dengan senyuman atau dengan tenaga untuk membantu saudara kita.
Kita perhatikan dalam pelaksanakan ibadah shalat kusuf dan khusuf itu ternyata Rasulullah membedakan dengan shalat-shalat yang lain sebagaimana Rasulullah membedakan ketika shalat jenazah yang tanpa ruku' dan sujud. Rasulullah melaksanakan shalat kusuf dan khusuf empat ruku dan empat sujud dalam dua raka'at.
Dalam Alquran matahari dinamakan An-Nuur sedang bulan disebut Ad-Dhiya`. Karena An-Nuur merupakan sumber cahaya sedang bulan hanya memantulkan cahaya. Matahari merupakan ciptaan Allah yang begitu hebat. Milyaran manusia menikmati sinar matahari. Pernahkah kita berpikir untuk mengsyukuri cahaya matahari? Atau berpikir untuk membayar kepada Allah atas jasa cahaya matahari sebagaimana kita membayar listrik? Kalaulah kita diperintahkan untuk membayar, tentu saja kita tidak akan mampu membayarnya. Allah cukup memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai tanda syukur kita atas segala ni'mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Dua kejadian yang amat langka ini kita catat dalam pikiran dan hati kita. Apa yang kita harapkan dari peristiwa ini sebagaimana Rasulullah Saw., menyatakan mudah-mudahan karya dan pekerjaan kita ujung-ujungnya itu Allah mengampuni terhadap dosa-dosa kita. Kenapa itu yang diharapkan dan kenapa itu yang diungkapkan Rasulullah Saw? Dan kenapa dalam suatu kesempatan Rasulullah dalam khutbahnya selalu mengulangi kalimat-kalimat, “Nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu.” Karena Rasulullah ingin memberikan makna hidup dan kehidupan; pertama, dasarilah hidup kita dengan tauhid kepada Allah, betapapun jika kekuasaan ada tapi jika tidak iman kepada Allah menjadi nol seperti halnya Fir'aun yang mempunyai kekuasaan, Hamman selaku perdana menteri Fir'aun yang berkuasa, Qarun yang berharta banyak tapi oleh Allah dijadikan penghuni-penghuni neraka jahanam yang kekal abadi karena tidak bertauhid kepada Allah Swt. Kedua, -nasta'inuhu- kita memohon pertolongan Allah Swt yang berarti Rasulullah memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan berkarya karena memohon pertolongan itu dilakukan ketika telah bekerja dan tidak mampu melaksanakannya atau tidak bisa melaksanakannya sendiri. Ketiga, -nastahgfiruhu- karena ujung pekerjaan kita adalah mengharapkan surga. Kita memohon ampun kepada Allah Swt sebagai akhir dari perjalanan hidup kita.
Dalam rangka kita melaksanakan sunnah Rasulullah ketika terjadi gerhana ini, sekaligus mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a, karena (pertama) kita menyempurnakan wudlu di saat sulitnya air dan di saat musim dingin. Dan banyak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena jarak yang jauh. Ketiga menanti kedatangan waktu shalat yang akan datang (antara Maghrib dan Isya). Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a dan diampuni dosa oleh Allah Swt.***
Ringkasan Khutbah GerhanaBentangkan semua Ciutkan semua JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENJADI LAWAN BAGI ANQalbu diciptakan Tuhan bukan untuk di jadikan musuh yang selalu merintangi dan menentang segala gerak dan tidak kita, kita di perlengkapi dengan hati agar dapat memanfaatkan akal berlandaskan hati, jadikan hati nurani itu penasehat untuk memudahkan segala tindak dan gerak, dan memberi arah bagi segala amal dan usaha.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ( الحج:46)
Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, agar mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat menggunkan akal, dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada yang buta.
Menggunakan otak, menggerakkan akal tidak berarti mesti membutakan hati nurani, hendaklah akal itu bergerak berlandaskan hati nurani, supaya tidak berlaku kejam dan menghianati perikemanusiaan.
Wabishah pernanah meminta nasehat kepada Rasulullah tentang kebaikan dan keburukan:
أتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ لَا أَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ إِلَّا سَأَلْتُهُ عَنْهُ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَسْتَفْتُونَهُ فَجَعَلْتُ أَتَخَطَّاهُمْ قَالُوا إِلَيْكَ يَا وَابِصَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ دَعُونِي فَأَدْنُوَ مِنْهُ فَإِنَّهُ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ أَنْ أَدْنُوَ مِنْهُ قَالَ دَعُوا وَابِصَةَ ادْنُ يَا وَابِصَةُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ فَدَنَوْتُ مِنْهُ حَتَّى قَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ يَا وَابِصَةُ أُخْبِرُكَ أَوْ تَسْأَلُنِي قُلْتُ لَا بَلْ أَخْبِرْنِي فَقَالَ جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ نَعَمْ فَجَمَعَ أَنَامِلَهُ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِنَّ فِي صَدْرِي وَيَقُولُ يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
Saya datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan saya ingin agar tidak ada sesuatu baik berupa kebaikan atau keburukan kecuali aku telah menanyakannya pada beliau. Dan pada saat itu di sekeliling beliau banyak terdapat kaum muslimin yang sedang meminta nasehat kepadanya beliau. Maka aku pun nekat melangkahi mereka hingga orang-orang itu berkata, "Wahai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menjauhlah wahai Wabishah!" Saya berkata, "Biarkan saya mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling saya cintai dan sukai untuk saya dekati." Maka beliau pun berkata, "Biarkan Wabisah mendekat. Mendekatlah wahai Wabishah." Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Wabishah berkata, "Saya pun mendekat kepada beliau hingga saya duduk di hadapannya. Kemudian beliau bertanya: "Wahai Wabisah, aku beritahukan kepadamu atau kamu yang akan bertanya padaku?" saya menjawab, "Tidak, akan tetapi beritahukanlah padaku." Beliau lantas bersabda: "Kamu datang untuk bertanya mengenai kebaikan dan keburukan (dosa)?" Saya menjawab."Benar." Beliau kemudian menyatukan ketiga jarinya seraya menepukkannya ke dadaku. Setelah itu beliau bersabda: "Wahai Wabishah, mintalah petunjuk pada hati dan jiwamu -beliau mengulanginya tiga kali-. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia memberimu fatwa dan membenarkanmu." (AHMAD - 17320)
Hati nurani yang sehat mampu memberi fatwa yang baik, memberi keputusan dan menentukan satu pilihan yang baik.
Adalah satu siksaan yang sangat berat, penderitaan yang sangat meletihkan dan memutusasakan bila kita melakukan sesuatu yang tidak di setujui hati, bertentangan dengan kemauan, tidak searah dengan kemauan; orang yang bekerja dengan rasa terpaksa, bila menemukan kesulitan dalam pekerjaan, maka otak pikiran bukan membantu untuk memecahkan dan memudahkannya, atau menggagalkannya, akhirnya timbullah keinginan untuk menjadi manusia bebas lepas dari aturan dan ketentuan, bebas daripada yang dinamakan kesopanan, tata tertib atau kepercayaan.
Tidak ada yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yang tidak di siksa batinnya, atau yang tidak di gelisahkan hidupnya, di ragukan tindakannya, di kacaukan fikirannya, dan tidak menentu arah tujuan hidupnya. Itu tandanya hati nuraninya sudah mati, atau sudah buta mata hatinya yang dalam dadanya (ta’ma’lqulubullati fish-Shudur).
Firman Allah
لينذر من كان حيا (يس:70)
Supaya Dia (Muhammad) memberi peringatan kepada manusia yang masih hidup.
Dan maksud hidup disini bukan hidup sebalik dari mati, tapi hidup disini dengan arti memilii hati nurani. Memanusiaakan binatang tidak akan dan belum pernah terjadi, belum pernah ada kerbau yang berubah jadi berakal berpikir dan berbudi, tapi tidak sedikit manusia yang sudah di binatangkan atau membinatangkan.
Sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(الاعراف:179 )
Dan sungguh kami akan isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka memiliki hati tapi tidak di pergunakan (untuk memahami ayat-ayat Allah), mereka memiliki mata tapi tidak di pergunakan melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka memiliki telinga tapi tidak di pergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih dari binatang, mereka itulah orang yang rugi.
Karena mereka lalai, mereka tidak menggunakan akalnya dengan landasan hati nurani, tidak memiliki qulubun ya’qiluna biha, tidak memiliki hati yang dengannya dapat menggunakan akal.
إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا (الفرقان:44 )
Mereka tiada lain hanya seperti binatang bahkan lebih sesat jalannya.
Bagi yang masih memiliki hati nurani yang sehat, bila melakukan suatu pelanggaran, penyelewengan, penghianatan terhadap iman atau ilmu, hati nuraninya berontak, menagih imannya dan memaksa agar kewajiban dan tugas itu di sempurnakan.
Bila dibiarkan hati berontak, bertindak seperti lawan, pasti akan kehilangan ketentraman, selalu gelisah dan penghargaan terhadap dirinya semakin rendah, yang akibatnya akan merasa malu melakukan perbuatan-perbuatan yang hina dan rendah sesuai dengan kerendahan diri atau hidup seperti binatang.
Menunaikan kewajiban, melakukan aml baik, dan akhlak utama tidak boleh di tangguhkan menunggu datangnya keinginan dan kerelaan hawa nafsu sebab tindakan seperti itu, sama halnya dengan yang menunggu-nunggu tibanya waktu yang kosong dan luas, tapi relakan hati agar rela dia islam, dia tunduk kepada aturan ketentuan dan undang-undang dan syari’at agama.
Hal ini mesti di usahakan, di biasakan, bukan di tunggu-tunggu, usahakan agar hati nurani tetap sehat,merestui segala amal yang manfaat dan baik, dan menolak membenci segala perbuatan yang buruk, supaya tiap gerak dan tindak, melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu selalu searah dengan fitrah jiwa, dan sesuai dengan keinginan hati nurani, dan disitu akan terasa keni’matan beragama, kebahagiaan Negara yang berundang-undang, karena semua penghuninya merelakan hati untuk hidup teratur, tidak lepas dari aturan dan undang-undang, dan itulah jiwa yang tentram (nafsul-muthmainnah).
Ada orang yang susah tidur, walaupun dia ngantuk, dan sudah berbaring di tempat tidur, sebab dia sedang berperang dengan hati nurani, sebab dia tidur meninggalkan pintu tidak terkunci, matanya menyuruh tidur, hati nuraninya memesan agar pintu di kunci.
Orang Islam yang belum melakukan shalat isya,tapi sudah ngantuk, bila ia berbaring di kamarnya, dia tidak bisa tidur dengan mudah, sebab hatinya berontak, hatinya menjadi lawan bagi dirinya.
Ini adalah contoh enteng, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh tepat orang menasehatkan, agar kita membiasakan mendidik atau melatih keinginan yang dinamakan tarbiyatul-iradah agar hati kita selalu searah dan sejalan.
Tidak ada pekerjaan, tidak ada pekerjaan yang membosankan bila pekerjaan itu di sertai dengan hati,dan sebaliknya pekerjaan yang mudah dan ringan bila tidak di sertai dengan hati akan terasa berat dan membosankan serta meletihakan.
Orang yang berjiwa “am-maratun bissu”, yang buta hati nuraninya, dapat melakukan kejahatan dan pelanggaran dengan senang hati, dia bermusuh dengan aturan dan syari’at agama, dia berpenyakit alergi nasehat dan tabligh.
Orang yang berjiwa “musawwalah”, hati nuraninya baru dapat bersinar bila di bantu dengan lingkungan, gerak tindaknya, sikap dan pendiriannya berubah-ubah, tergantung kepada pengaruh lingkungan, dia seperti benda mati bukan bergerak tapi di gerakkan.
Orang yang berjiwa “lawwamah”, selalu berperang dengan nafsunya, selalu merelakan hatinya untuk menerima kebenaran, dan melakukan kebaikan, dan dia selalu ada dalam kemenangan walupun dengan susah payah.
Orang yang berjiwa “muthmainnah” hidup berbahagia, hati nuraninya selalu membantu, otaknya bergerak berlandaskan hati nurani, tidak bermusuh dengan kalbu tidak menjadi lawan bagi hati nuraninya.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي (الفجر:27-30)
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada (ketentuan) Tuhan kamu dengan segala kepuasan, dan kembalilah dengan di ridhai Tuhan, masuklah seiring dengan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.
Oleh: KH. E Abdurrahman
Dipublikasikan Oleh: Basyi
r
Ringkasan Khutbah Gerhana
Selasa, 28 Agustus 2007 (Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung)
Oleh: KH. Emon Sastranegara
Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur kepada pencipta kita, khaliq, dan ma'bud kita bahwa sampai saat ini kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt., untuk memenuhi seruan Rasulullah Saw., di saat terjadi gerhana untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah, sebagai implementasi dari sunnah Rasulullah Saw.
Kalaulah saat ini Allah Swt., menghancurkan bumi ini melalui gerhana,
kita sedang beribadah kepada-Nya. Karena kiamat itu datangnya tiba-tiba tidak ada tanda-tanda sebelumnya.
Kita pernah diingatkan di suatu negara yang bernama Italia, gunung yang meletus dengan tidak memberikan tanda-tanda sebelumnya. Debu-debu dan lahar panas menimpa pada penduduk yang ada di bawahnya. Sehingga sampai sekarang bekas letusan itu terekam dari gambaran manusia yang menjadi posil dalam keadaan bermacam-macam; ada seorang ibu sedang memeluk anaknya, seorang suami tengah bercengkrama dengan istrinya, dua orang remaja yang tengah berjina, bermaksiat kepada Allah Swt. Dan andai kata Allah Swt., mentakdirkan saat gerhana ini kiamat tiba, akhir hidup kita dalam keadaan husnul khatimah, kita dalam keadaan sedang berserah diri kepada Allah Swt. Hal inilah yang patut kita syukuri pada saat ini kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.
Gerhana itu ada dua macam; gerhana bulan dan gerhana matahari. Gerhana yang terjadi pada saat ini (Selasa, 28 Agustus 2007) adalah gerhana bulan. Ada dua istilah dalam hadits yaitu kusuf dan khusuf, istilah yang sewaktu-waktu berbeda namun sewaktu-waktu sama. Berbeda sebab peristiwanya pun berbeda. Kusuf adalah gerhana matahari sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Kusuf menurut bahasa berarti At-Tagyir (suatu perubahan dari putih yang mengeluarkan cahaya menjadi hitam). Sementara khusuf berarti An-Nuqson (berkurang cahaya). Dan keduanya disyariatkan untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah.
Tentang hal ini bisa kita perhatikan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari seorang saha-bat Rasulullah yang bernama Al-Mughi-rah bin Syu'bah. “Pernah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Saw yang kebetulan berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah yang bernama Ibrahim. (Tahun ke-10 H). Orang-orang berkata, ter-jadinya gerhana matahari itu karena kema-tian Ibrahim. Rasulullah Saw bersabda, se-sungguhnya matahari dan bulan dua tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak terjadi gerhana itu karena kematian atau pun ka-rena lahirnya seseorang. Apabila kalian me-lihat dua peristiwa itu maka berdo'alah kepa-da Allah Swt., dan hendaklah melaksanakan shalat sehingga gerhana itu selesai.”
Dalam hadits lain yang bersumber dari Aisyah r.a., Ketika terjadi gerhana pada zaman Rasulullah Saw., Beliau shalat mengimami orang-orang lalu berkhutbah memuji dan menyanjung Allah dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bu-lan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, gerhana itu tidak terjadi lantaran kematian atau pun kelahiran seseorang, jika kalian menyaksikan gerhana maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bershadaqahlah. Lalu beliau bersabda, demi Allah seandainya kalian mengetahui yang aku ketahui niscaya kalian akan menyedikitkan tertawa dan memperbanyak tangis.”
Bershadaqah dalam artian sebagaimana kemampuan kita. Rasulullah bersabda, “Senyummu kepada saudaramu merupakan shadaqah.” Memasang wajah yang ramah dengan senyuman saat bertemu dengan saudara kita sesama muslim merupakan suatu nilai shadaqah. Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Kullu ma'ruufin shadaqah.” Setiap kebaikan itu adalah shadaqah. Tidak bisa dengan harta, dengan senyuman atau dengan tenaga untuk membantu saudara kita.
Kita perhatikan dalam pelaksanakan ibadah shalat kusuf dan khusuf itu ternyata Rasulullah membedakan dengan shalat-shalat yang lain sebagaimana Rasulullah membedakan ketika shalat jenazah yang tanpa ruku' dan sujud. Rasulullah melaksanakan shalat kusuf dan khusuf empat ruku dan empat sujud dalam dua raka'at.
Dalam Alquran matahari dinamakan An-Nuur sedang bulan disebut Ad-Dhiya`. Karena An-Nuur merupakan sumber cahaya sedang bulan hanya memantulkan cahaya. Matahari merupakan ciptaan Allah yang begitu hebat. Milyaran manusia menikmati sinar matahari. Pernahkah kita berpikir untuk mengsyukuri cahaya matahari? Atau berpikir untuk membayar kepada Allah atas jasa cahaya matahari sebagaimana kita membayar listrik? Kalaulah kita diperintahkan untuk membayar, tentu saja kita tidak akan mampu membayarnya. Allah cukup memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai tanda syukur kita atas segala ni'mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Dua kejadian yang amat langka ini kita catat dalam pikiran dan hati kita. Apa yang kita harapkan dari peristiwa ini sebagaimana Rasulullah Saw., menyatakan mudah-mudahan karya dan pekerjaan kita ujung-ujungnya itu Allah mengampuni terhadap dosa-dosa kita. Kenapa itu yang diharapkan dan kenapa itu yang diungkapkan Rasulullah Saw? Dan kenapa dalam suatu kesempatan Rasulullah dalam khutbahnya selalu mengulangi kalimat-kalimat, “Nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu.” Karena Rasulullah ingin memberikan makna hidup dan kehidupan; pertama, dasarilah hidup kita dengan tauhid kepada Allah, betapapun jika kekuasaan ada tapi jika tidak iman kepada Allah menjadi nol seperti halnya Fir'aun yang mempunyai kekuasaan, Hamman selaku perdana menteri Fir'aun yang berkuasa, Qarun yang berharta banyak tapi oleh Allah dijadikan penghuni-penghuni neraka jahanam yang kekal abadi karena tidak bertauhid kepada Allah Swt. Kedua, -nasta'inuhu- kita memohon pertolongan Allah Swt yang berarti Rasulullah memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan berkarya karena memohon pertolongan itu dilakukan ketika telah bekerja dan tidak mampu melaksanakannya atau tidak bisa melaksanakannya sendiri. Ketiga, -nastahgfiruhu- karena ujung pekerjaan kita adalah mengharapkan surga. Kita memohon ampun kepada Allah Swt sebagai akhir dari perjalanan hidup kita.
Dalam rangka kita melaksanakan sunnah Rasulullah ketika terjadi gerhana ini, sekaligus mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a, karena (pertama) kita menyempurnakan wudlu di saat sulitnya air dan di saat musim dingin. Dan banyak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena jarak yang jauh. Ketiga menanti kedatangan waktu shalat yang akan datang (antara Maghrib dan Isya). Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a dan diampuni dosa oleh Allah Swt.***
Ringkasan Khutbah GerhanaBentangkan semua Ciutkan semua JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENJADI LAWAN BAGI ANQalbu diciptakan Tuhan bukan untuk di jadikan musuh yang selalu merintangi dan menentang segala gerak dan tidak kita, kita di perlengkapi dengan hati agar dapat memanfaatkan akal berlandaskan hati, jadikan hati nurani itu penasehat untuk memudahkan segala tindak dan gerak, dan memberi arah bagi segala amal dan usaha.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آَذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ ( الحج:46)
Tidakkah mereka berjalan di muka bumi, agar mereka memiliki hati yang dengannya mereka dapat menggunkan akal, dan mereka memiliki telinga yang dengannya mereka dapat mendengar, karena sesungguhnya bukan mata yang buta, tapi hati yang di dalam dada yang buta.
Menggunakan otak, menggerakkan akal tidak berarti mesti membutakan hati nurani, hendaklah akal itu bergerak berlandaskan hati nurani, supaya tidak berlaku kejam dan menghianati perikemanusiaan.
Wabishah pernanah meminta nasehat kepada Rasulullah tentang kebaikan dan keburukan:
أتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ لَا أَدَعَ شَيْئًا مِنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ إِلَّا سَأَلْتُهُ عَنْهُ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَسْتَفْتُونَهُ فَجَعَلْتُ أَتَخَطَّاهُمْ قَالُوا إِلَيْكَ يَا وَابِصَةُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ دَعُونِي فَأَدْنُوَ مِنْهُ فَإِنَّهُ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ أَنْ أَدْنُوَ مِنْهُ قَالَ دَعُوا وَابِصَةَ ادْنُ يَا وَابِصَةُ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ فَدَنَوْتُ مِنْهُ حَتَّى قَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقَالَ يَا وَابِصَةُ أُخْبِرُكَ أَوْ تَسْأَلُنِي قُلْتُ لَا بَلْ أَخْبِرْنِي فَقَالَ جِئْتَ تَسْأَلُنِي عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ نَعَمْ فَجَمَعَ أَنَامِلَهُ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِنَّ فِي صَدْرِي وَيَقُولُ يَا وَابِصَةُ اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ
Saya datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan saya ingin agar tidak ada sesuatu baik berupa kebaikan atau keburukan kecuali aku telah menanyakannya pada beliau. Dan pada saat itu di sekeliling beliau banyak terdapat kaum muslimin yang sedang meminta nasehat kepadanya beliau. Maka aku pun nekat melangkahi mereka hingga orang-orang itu berkata, "Wahai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menjauhlah wahai Wabishah!" Saya berkata, "Biarkan saya mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling saya cintai dan sukai untuk saya dekati." Maka beliau pun berkata, "Biarkan Wabisah mendekat. Mendekatlah wahai Wabishah." Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Wabishah berkata, "Saya pun mendekat kepada beliau hingga saya duduk di hadapannya. Kemudian beliau bertanya: "Wahai Wabisah, aku beritahukan kepadamu atau kamu yang akan bertanya padaku?" saya menjawab, "Tidak, akan tetapi beritahukanlah padaku." Beliau lantas bersabda: "Kamu datang untuk bertanya mengenai kebaikan dan keburukan (dosa)?" Saya menjawab."Benar." Beliau kemudian menyatukan ketiga jarinya seraya menepukkannya ke dadaku. Setelah itu beliau bersabda: "Wahai Wabishah, mintalah petunjuk pada hati dan jiwamu -beliau mengulanginya tiga kali-. Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia memberimu fatwa dan membenarkanmu." (AHMAD - 17320)
Hati nurani yang sehat mampu memberi fatwa yang baik, memberi keputusan dan menentukan satu pilihan yang baik.
Adalah satu siksaan yang sangat berat, penderitaan yang sangat meletihkan dan memutusasakan bila kita melakukan sesuatu yang tidak di setujui hati, bertentangan dengan kemauan, tidak searah dengan kemauan; orang yang bekerja dengan rasa terpaksa, bila menemukan kesulitan dalam pekerjaan, maka otak pikiran bukan membantu untuk memecahkan dan memudahkannya, atau menggagalkannya, akhirnya timbullah keinginan untuk menjadi manusia bebas lepas dari aturan dan ketentuan, bebas daripada yang dinamakan kesopanan, tata tertib atau kepercayaan.
Tidak ada yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yang tidak di siksa batinnya, atau yang tidak di gelisahkan hidupnya, di ragukan tindakannya, di kacaukan fikirannya, dan tidak menentu arah tujuan hidupnya. Itu tandanya hati nuraninya sudah mati, atau sudah buta mata hatinya yang dalam dadanya (ta’ma’lqulubullati fish-Shudur).
Firman Allah
لينذر من كان حيا (يس:70)
Supaya Dia (Muhammad) memberi peringatan kepada manusia yang masih hidup.
Dan maksud hidup disini bukan hidup sebalik dari mati, tapi hidup disini dengan arti memilii hati nurani. Memanusiaakan binatang tidak akan dan belum pernah terjadi, belum pernah ada kerbau yang berubah jadi berakal berpikir dan berbudi, tapi tidak sedikit manusia yang sudah di binatangkan atau membinatangkan.
Sebagaimana firman Allah:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ(الاعراف:179 )
Dan sungguh kami akan isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka memiliki hati tapi tidak di pergunakan (untuk memahami ayat-ayat Allah), mereka memiliki mata tapi tidak di pergunakan melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka memiliki telinga tapi tidak di pergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih dari binatang, mereka itulah orang yang rugi.
Karena mereka lalai, mereka tidak menggunakan akalnya dengan landasan hati nurani, tidak memiliki qulubun ya’qiluna biha, tidak memiliki hati yang dengannya dapat menggunakan akal.
إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا (الفرقان:44 )
Mereka tiada lain hanya seperti binatang bahkan lebih sesat jalannya.
Bagi yang masih memiliki hati nurani yang sehat, bila melakukan suatu pelanggaran, penyelewengan, penghianatan terhadap iman atau ilmu, hati nuraninya berontak, menagih imannya dan memaksa agar kewajiban dan tugas itu di sempurnakan.
Bila dibiarkan hati berontak, bertindak seperti lawan, pasti akan kehilangan ketentraman, selalu gelisah dan penghargaan terhadap dirinya semakin rendah, yang akibatnya akan merasa malu melakukan perbuatan-perbuatan yang hina dan rendah sesuai dengan kerendahan diri atau hidup seperti binatang.
Menunaikan kewajiban, melakukan aml baik, dan akhlak utama tidak boleh di tangguhkan menunggu datangnya keinginan dan kerelaan hawa nafsu sebab tindakan seperti itu, sama halnya dengan yang menunggu-nunggu tibanya waktu yang kosong dan luas, tapi relakan hati agar rela dia islam, dia tunduk kepada aturan ketentuan dan undang-undang dan syari’at agama.
Hal ini mesti di usahakan, di biasakan, bukan di tunggu-tunggu, usahakan agar hati nurani tetap sehat,merestui segala amal yang manfaat dan baik, dan menolak membenci segala perbuatan yang buruk, supaya tiap gerak dan tindak, melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu selalu searah dengan fitrah jiwa, dan sesuai dengan keinginan hati nurani, dan disitu akan terasa keni’matan beragama, kebahagiaan Negara yang berundang-undang, karena semua penghuninya merelakan hati untuk hidup teratur, tidak lepas dari aturan dan undang-undang, dan itulah jiwa yang tentram (nafsul-muthmainnah).
Ada orang yang susah tidur, walaupun dia ngantuk, dan sudah berbaring di tempat tidur, sebab dia sedang berperang dengan hati nurani, sebab dia tidur meninggalkan pintu tidak terkunci, matanya menyuruh tidur, hati nuraninya memesan agar pintu di kunci.
Orang Islam yang belum melakukan shalat isya,tapi sudah ngantuk, bila ia berbaring di kamarnya, dia tidak bisa tidur dengan mudah, sebab hatinya berontak, hatinya menjadi lawan bagi dirinya.
Ini adalah contoh enteng, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh tepat orang menasehatkan, agar kita membiasakan mendidik atau melatih keinginan yang dinamakan tarbiyatul-iradah agar hati kita selalu searah dan sejalan.
Tidak ada pekerjaan, tidak ada pekerjaan yang membosankan bila pekerjaan itu di sertai dengan hati,dan sebaliknya pekerjaan yang mudah dan ringan bila tidak di sertai dengan hati akan terasa berat dan membosankan serta meletihakan.
Orang yang berjiwa “am-maratun bissu”, yang buta hati nuraninya, dapat melakukan kejahatan dan pelanggaran dengan senang hati, dia bermusuh dengan aturan dan syari’at agama, dia berpenyakit alergi nasehat dan tabligh.
Orang yang berjiwa “musawwalah”, hati nuraninya baru dapat bersinar bila di bantu dengan lingkungan, gerak tindaknya, sikap dan pendiriannya berubah-ubah, tergantung kepada pengaruh lingkungan, dia seperti benda mati bukan bergerak tapi di gerakkan.
Orang yang berjiwa “lawwamah”, selalu berperang dengan nafsunya, selalu merelakan hatinya untuk menerima kebenaran, dan melakukan kebaikan, dan dia selalu ada dalam kemenangan walupun dengan susah payah.
Orang yang berjiwa “muthmainnah” hidup berbahagia, hati nuraninya selalu membantu, otaknya bergerak berlandaskan hati nurani, tidak bermusuh dengan kalbu tidak menjadi lawan bagi hati nuraninya.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي (الفجر:27-30)
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada (ketentuan) Tuhan kamu dengan segala kepuasan, dan kembalilah dengan di ridhai Tuhan, masuklah seiring dengan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku.
Oleh: KH. E Abdurrahman
Dipublikasikan Oleh: Basyi
r
Ringkasan Khutbah Gerhana
Selasa, 28 Agustus 2007 (Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung)
Oleh: KH. Emon Sastranegara
Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur kepada pencipta kita, khaliq, dan ma'bud kita bahwa sampai saat ini kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt., untuk memenuhi seruan Rasulullah Saw., di saat terjadi gerhana untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah, sebagai implementasi dari sunnah Rasulullah Saw.
Kalaulah saat ini Allah Swt., menghancurkan bumi ini melalui gerhana,
kita sedang beribadah kepada-Nya. Karena kiamat itu datangnya tiba-tiba tidak ada tanda-tanda sebelumnya.
Kita pernah diingatkan di suatu negara yang bernama Italia, gunung yang meletus dengan tidak memberikan tanda-tanda sebelumnya. Debu-debu dan lahar panas menimpa pada penduduk yang ada di bawahnya. Sehingga sampai sekarang bekas letusan itu terekam dari gambaran manusia yang menjadi posil dalam keadaan bermacam-macam; ada seorang ibu sedang memeluk anaknya, seorang suami tengah bercengkrama dengan istrinya, dua orang remaja yang tengah berjina, bermaksiat kepada Allah Swt. Dan andai kata Allah Swt., mentakdirkan saat gerhana ini kiamat tiba, akhir hidup kita dalam keadaan husnul khatimah, kita dalam keadaan sedang berserah diri kepada Allah Swt. Hal inilah yang patut kita syukuri pada saat ini kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.
Gerhana itu ada dua macam; gerhana bulan dan gerhana matahari. Gerhana yang terjadi pada saat ini (Selasa, 28 Agustus 2007) adalah gerhana bulan. Ada dua istilah dalam hadits yaitu kusuf dan khusuf, istilah yang sewaktu-waktu berbeda namun sewaktu-waktu sama. Berbeda sebab peristiwanya pun berbeda. Kusuf adalah gerhana matahari sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Kusuf menurut bahasa berarti At-Tagyir (suatu perubahan dari putih yang mengeluarkan cahaya menjadi hitam). Sementara khusuf berarti An-Nuqson (berkurang cahaya). Dan keduanya disyariatkan untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah.
Tentang hal ini bisa kita perhatikan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari seorang saha-bat Rasulullah yang bernama Al-Mughi-rah bin Syu'bah. “Pernah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Saw yang kebetulan berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah yang bernama Ibrahim. (Tahun ke-10 H). Orang-orang berkata, ter-jadinya gerhana matahari itu karena kema-tian Ibrahim. Rasulullah Saw bersabda, se-sungguhnya matahari dan bulan dua tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak terjadi gerhana itu karena kematian atau pun ka-rena lahirnya seseorang. Apabila kalian me-lihat dua peristiwa itu maka berdo'alah kepa-da Allah Swt., dan hendaklah melaksanakan shalat sehingga gerhana itu selesai.”
Dalam hadits lain yang bersumber dari Aisyah r.a., Ketika terjadi gerhana pada zaman Rasulullah Saw., Beliau shalat mengimami orang-orang lalu berkhutbah memuji dan menyanjung Allah dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bu-lan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, gerhana itu tidak terjadi lantaran kematian atau pun kelahiran seseorang, jika kalian menyaksikan gerhana maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bershadaqahlah. Lalu beliau bersabda, demi Allah seandainya kalian mengetahui yang aku ketahui niscaya kalian akan menyedikitkan tertawa dan memperbanyak tangis.”
Bershadaqah dalam artian sebagaimana kemampuan kita. Rasulullah bersabda, “Senyummu kepada saudaramu merupakan shadaqah.” Memasang wajah yang ramah dengan senyuman saat bertemu dengan saudara kita sesama muslim merupakan suatu nilai shadaqah. Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Kullu ma'ruufin shadaqah.” Setiap kebaikan itu adalah shadaqah. Tidak bisa dengan harta, dengan senyuman atau dengan tenaga untuk membantu saudara kita.
Kita perhatikan dalam pelaksanakan ibadah shalat kusuf dan khusuf itu ternyata Rasulullah membedakan dengan shalat-shalat yang lain sebagaimana Rasulullah membedakan ketika shalat jenazah yang tanpa ruku' dan sujud. Rasulullah melaksanakan shalat kusuf dan khusuf empat ruku dan empat sujud dalam dua raka'at.
Dalam Alquran matahari dinamakan An-Nuur sedang bulan disebut Ad-Dhiya`. Karena An-Nuur merupakan sumber cahaya sedang bulan hanya memantulkan cahaya. Matahari merupakan ciptaan Allah yang begitu hebat. Milyaran manusia menikmati sinar matahari. Pernahkah kita berpikir untuk mengsyukuri cahaya matahari? Atau berpikir untuk membayar kepada Allah atas jasa cahaya matahari sebagaimana kita membayar listrik? Kalaulah kita diperintahkan untuk membayar, tentu saja kita tidak akan mampu membayarnya. Allah cukup memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai tanda syukur kita atas segala ni'mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Dua kejadian yang amat langka ini kita catat dalam pikiran dan hati kita. Apa yang kita harapkan dari peristiwa ini sebagaimana Rasulullah Saw., menyatakan mudah-mudahan karya dan pekerjaan kita ujung-ujungnya itu Allah mengampuni terhadap dosa-dosa kita. Kenapa itu yang diharapkan dan kenapa itu yang diungkapkan Rasulullah Saw? Dan kenapa dalam suatu kesempatan Rasulullah dalam khutbahnya selalu mengulangi kalimat-kalimat, “Nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu.” Karena Rasulullah ingin memberikan makna hidup dan kehidupan; pertama, dasarilah hidup kita dengan tauhid kepada Allah, betapapun jika kekuasaan ada tapi jika tidak iman kepada Allah menjadi nol seperti halnya Fir'aun yang mempunyai kekuasaan, Hamman selaku perdana menteri Fir'aun yang berkuasa, Qarun yang berharta banyak tapi oleh Allah dijadikan penghuni-penghuni neraka jahanam yang kekal abadi karena tidak bertauhid kepada Allah Swt. Kedua, -nasta'inuhu- kita memohon pertolongan Allah Swt yang berarti Rasulullah memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan berkarya karena memohon pertolongan itu dilakukan ketika telah bekerja dan tidak mampu melaksanakannya atau tidak bisa melaksanakannya sendiri. Ketiga, -nastahgfiruhu- karena ujung pekerjaan kita adalah mengharapkan surga. Kita memohon ampun kepada Allah Swt sebagai akhir dari perjalanan hidup kita.
Dalam rangka kita melaksanakan sunnah Rasulullah ketika terjadi gerhana ini, sekaligus mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a, karena (pertama) kita menyempurnakan wudlu di saat sulitnya air dan di saat musim dingin. Dan banyak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena jarak yang jauh. Ketiga menanti kedatangan waktu shalat yang akan datang (antara Maghrib dan Isya). Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a dan diampuni dosa oleh Allah Swt.***
Selasa, 28 Agustus 2007 (Masjid Persatuan Islam Pajagalan Bandung)
Oleh: KH. Emon Sastranegara
Alhamdulillah kita panjatkan puji dan syukur kepada pencipta kita, khaliq, dan ma'bud kita bahwa sampai saat ini kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt., untuk memenuhi seruan Rasulullah Saw., di saat terjadi gerhana untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah, sebagai implementasi dari sunnah Rasulullah Saw.
Kalaulah saat ini Allah Swt., menghancurkan bumi ini melalui gerhana,
kita sedang beribadah kepada-Nya. Karena kiamat itu datangnya tiba-tiba tidak ada tanda-tanda sebelumnya.
Kita pernah diingatkan di suatu negara yang bernama Italia, gunung yang meletus dengan tidak memberikan tanda-tanda sebelumnya. Debu-debu dan lahar panas menimpa pada penduduk yang ada di bawahnya. Sehingga sampai sekarang bekas letusan itu terekam dari gambaran manusia yang menjadi posil dalam keadaan bermacam-macam; ada seorang ibu sedang memeluk anaknya, seorang suami tengah bercengkrama dengan istrinya, dua orang remaja yang tengah berjina, bermaksiat kepada Allah Swt. Dan andai kata Allah Swt., mentakdirkan saat gerhana ini kiamat tiba, akhir hidup kita dalam keadaan husnul khatimah, kita dalam keadaan sedang berserah diri kepada Allah Swt. Hal inilah yang patut kita syukuri pada saat ini kita bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.
Gerhana itu ada dua macam; gerhana bulan dan gerhana matahari. Gerhana yang terjadi pada saat ini (Selasa, 28 Agustus 2007) adalah gerhana bulan. Ada dua istilah dalam hadits yaitu kusuf dan khusuf, istilah yang sewaktu-waktu berbeda namun sewaktu-waktu sama. Berbeda sebab peristiwanya pun berbeda. Kusuf adalah gerhana matahari sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Kusuf menurut bahasa berarti At-Tagyir (suatu perubahan dari putih yang mengeluarkan cahaya menjadi hitam). Sementara khusuf berarti An-Nuqson (berkurang cahaya). Dan keduanya disyariatkan untuk bertakbir, istighfar, shalat dan bershadaqah.
Tentang hal ini bisa kita perhatikan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari seorang saha-bat Rasulullah yang bernama Al-Mughi-rah bin Syu'bah. “Pernah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Saw yang kebetulan berbarengan dengan wafatnya putra Rasulullah yang bernama Ibrahim. (Tahun ke-10 H). Orang-orang berkata, ter-jadinya gerhana matahari itu karena kema-tian Ibrahim. Rasulullah Saw bersabda, se-sungguhnya matahari dan bulan dua tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, tidak terjadi gerhana itu karena kematian atau pun ka-rena lahirnya seseorang. Apabila kalian me-lihat dua peristiwa itu maka berdo'alah kepa-da Allah Swt., dan hendaklah melaksanakan shalat sehingga gerhana itu selesai.”
Dalam hadits lain yang bersumber dari Aisyah r.a., Ketika terjadi gerhana pada zaman Rasulullah Saw., Beliau shalat mengimami orang-orang lalu berkhutbah memuji dan menyanjung Allah dan bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bu-lan adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, gerhana itu tidak terjadi lantaran kematian atau pun kelahiran seseorang, jika kalian menyaksikan gerhana maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bershadaqahlah. Lalu beliau bersabda, demi Allah seandainya kalian mengetahui yang aku ketahui niscaya kalian akan menyedikitkan tertawa dan memperbanyak tangis.”
Bershadaqah dalam artian sebagaimana kemampuan kita. Rasulullah bersabda, “Senyummu kepada saudaramu merupakan shadaqah.” Memasang wajah yang ramah dengan senyuman saat bertemu dengan saudara kita sesama muslim merupakan suatu nilai shadaqah. Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Kullu ma'ruufin shadaqah.” Setiap kebaikan itu adalah shadaqah. Tidak bisa dengan harta, dengan senyuman atau dengan tenaga untuk membantu saudara kita.
Kita perhatikan dalam pelaksanakan ibadah shalat kusuf dan khusuf itu ternyata Rasulullah membedakan dengan shalat-shalat yang lain sebagaimana Rasulullah membedakan ketika shalat jenazah yang tanpa ruku' dan sujud. Rasulullah melaksanakan shalat kusuf dan khusuf empat ruku dan empat sujud dalam dua raka'at.
Dalam Alquran matahari dinamakan An-Nuur sedang bulan disebut Ad-Dhiya`. Karena An-Nuur merupakan sumber cahaya sedang bulan hanya memantulkan cahaya. Matahari merupakan ciptaan Allah yang begitu hebat. Milyaran manusia menikmati sinar matahari. Pernahkah kita berpikir untuk mengsyukuri cahaya matahari? Atau berpikir untuk membayar kepada Allah atas jasa cahaya matahari sebagaimana kita membayar listrik? Kalaulah kita diperintahkan untuk membayar, tentu saja kita tidak akan mampu membayarnya. Allah cukup memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai tanda syukur kita atas segala ni'mat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Dua kejadian yang amat langka ini kita catat dalam pikiran dan hati kita. Apa yang kita harapkan dari peristiwa ini sebagaimana Rasulullah Saw., menyatakan mudah-mudahan karya dan pekerjaan kita ujung-ujungnya itu Allah mengampuni terhadap dosa-dosa kita. Kenapa itu yang diharapkan dan kenapa itu yang diungkapkan Rasulullah Saw? Dan kenapa dalam suatu kesempatan Rasulullah dalam khutbahnya selalu mengulangi kalimat-kalimat, “Nahmaduhu wa nasta'inuhu wa nastaghfiruhu.” Karena Rasulullah ingin memberikan makna hidup dan kehidupan; pertama, dasarilah hidup kita dengan tauhid kepada Allah, betapapun jika kekuasaan ada tapi jika tidak iman kepada Allah menjadi nol seperti halnya Fir'aun yang mempunyai kekuasaan, Hamman selaku perdana menteri Fir'aun yang berkuasa, Qarun yang berharta banyak tapi oleh Allah dijadikan penghuni-penghuni neraka jahanam yang kekal abadi karena tidak bertauhid kepada Allah Swt. Kedua, -nasta'inuhu- kita memohon pertolongan Allah Swt yang berarti Rasulullah memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan berkarya karena memohon pertolongan itu dilakukan ketika telah bekerja dan tidak mampu melaksanakannya atau tidak bisa melaksanakannya sendiri. Ketiga, -nastahgfiruhu- karena ujung pekerjaan kita adalah mengharapkan surga. Kita memohon ampun kepada Allah Swt sebagai akhir dari perjalanan hidup kita.
Dalam rangka kita melaksanakan sunnah Rasulullah ketika terjadi gerhana ini, sekaligus mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a, karena (pertama) kita menyempurnakan wudlu di saat sulitnya air dan di saat musim dingin. Dan banyak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena jarak yang jauh. Ketiga menanti kedatangan waktu shalat yang akan datang (antara Maghrib dan Isya). Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diijabah do'a dan diampuni dosa oleh Allah Swt.***
Komentar
Posting Komentar